Dua syarat
tukar menukar:
Pertama, harus ada kesamaan (at-tasawi)
dalam kuantitas (al-kamiyah) atau ukuran/kadar (al-miqdar).
Kedua, harus ada serah terima (at-taqabudh)
di majelis akad, yakni maksudnya harus kontan, tidak boleh ada penundaan pada
salah satu dari apa yang dipertukarkan. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah
al-Dustur, Juz II hal. 155; ‘Ayid Fadhl al-Sya’rawi, Al-Masharif
al-Islamiyah, hal. 30).
Dua syarat di atas dalilnya antara
lain hadits yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri RA, bahwa Rasulullah SAW
bersabda :
الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ
بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ
يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى
فِيهِ سَوَاءٌ
“Emas ditukar dengan emas, perak
dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma,
garam dengan garam, harus sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari
tangan ke tangan (kontan). Maka barangsiapa menambah atau minta tambah, maka
dia telah berbuat riba, yang mengambil dan yang memberi dalam jual beli ini
sama saja (dosanya).” (HR Muslim, no 1584).
Diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit
RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ
بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ
بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا
بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا
كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Emas ditukar dengan emas, perak
dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma,
garam dengan garam, harus semisal dengan semisal, sama dengan sama (sama
beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka jika berbeda
jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari tangan ke tangan (kontan).” (HR Muslim no 1210; At-Tirmidzi
III/532; Abu Dawud III/248).
Dari dua hadits di atas dapat
dipahami bahwa dalam penukaran barang-barang ribawi (yaitu emas, perak, gandum,
jewawut, kurma, dan garam) terdapat ketentuan sebagai berikut.
Dari hadits Abu Said al-Khudri
(hadits pertama), dapat dipahami jika barang yang ditukarkan masih satu jenis
(misal emas dengan emas), syaratnya ada dua; Pertama, harus ada kesamaan
(at-tasawi) dalam hal beratnya (al-wazan) atau takarannya (al-kail).
Hal ini didasarkan pada bunyi hadits “mitslan bi mitslin”, yakni dalam
penukaran barang-barang ribawi (al-ashnaf al-ribawiyah) tersebut harus
dilakukan dalam jumlah atau ukuran yang sama. Jadi diharamkan adanya tambahan
atau kelebihan (at-tafadhul).
Kedua, harus ada serah terima (taqabudh)
di majelis akad, yakni dilakukan secara kontan. Hal ini didasarkan pada bunyi
hadits “yadan bi yadin” (dari tangan ke tangan), yakni dalam penukaran
barang-barang ribawi (al-ashnaf al-ribawiyah) harus dilakukan secara
kontan. Jadi diharamkan jika terjadi penundaan (al-ta`jil).
Dari hadits Ubadah bin Shamit
(hadits kedua) dapat dipahami bahwa jika barang yang ditukarkan tidak satu
jenis (misal emas dengan perak), maka boleh ada kelebihan atau tambahan, dan
syaratnya hanya satu saja, yaitu harus dilakukan secara kontan. Ini ditunjukkan
oleh lafazh hadits “idza kaana yadan biyadin” (jika hal itu dilakukan
secara kontan). (‘Ayid Fadhl al-Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hal.
30).
0 comments:
Post a Comment